Riwayat Hidup
Dionysius a Natitivitate, yang sebelumnya bernama Pierre Berthelot lahir
di Honfleur, Perancis pada tahun 1600 sedangkan Redemptus a Cruce,
sebelumnya bernama Thomas Rodrgues da Cunha, lahir di Paredes, Spanyol
pada tahun 1598. Kata “Redemptus” sendiri dapat diartikan “sebagai yang
ditebus”. Keduanya adalah biarawan Karmel dan merupakan martir yang mati
di tanah rencong, Aceh, Indonesia pada bulan November 1638 dan diberi
gelar sebagai “yang bahagia” atau Beato pada tahun 1900. Pesta Beato
Dionysius dan Beato Redemptus dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 1
Desember menurut penanggalan liturgi yang disusun oleh Komisi Liturgi
KWI.
Pierre Berthelot adalah anak seorang dokter yang sekaligus bekerja
sebagai seorang nakhoda kapal. Sejak umur 12 tahun Pierre mewarisi darah
ayahnya sebagai pelaut dan selalu mengikuti ayahnya berlayar. Pada umur
19 tahun, Pierre muda sudah menjadi seorang pelaut yang ulung. Setelah
merasa mempunyai cukup pengetahuan dan pengalaman di bidang kelautan,
Pierre kemudian memasuki dinas perusahaan dagang Perancis. Pernah pada
suatu masa kapal dagang Perancis yang dinaiki Pierre sampai di
Indonesia, tepatnya di Banten, namun karena adanya perselisihan dengan
VOC, perusahaan dagang Belanda, maka kedua maskapai perdagangan ini
melakukan peperangan sampai akhirnya kapal dagang Pierre dibakar. Perlu
diketahui hampir seluruh wilayah Indonesia pada saat itu dikuasai oleh
VOC yang didukung oleh Pemerintah Belanda. Dalam bidang kelautan, Pierre
sangat berpengalaman dalam hal pembuatan peta laut dan dia juga mahir
dalam memberikan petunjuk jalan. Pengalamannya sebagai pelaut yang
handal membawanya sampai ke Madagaskar bahkan Sulawesi. Setelah itu
Pierre bekerja di angkatan laut Portugis di Goa, India.
Walau Pierre sudah mempunyai kedudukan dan berpengalaman sebagai pelaut
pada kapal dagang dan di angkatan laut Portugis, tetapi hal ini tidak
membuatnya puas. Pierre pada saat itu masih merasakan bahwa hidupnya
hampa dan masih ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Ia merasakan ada
keresahan dalam dirinya. Hatinya selalu terusik untuk mencari jawaban
tersebut. Pierre selalu merenungkan dan mencari apa yang masih kurang
dari dirinya dan ia ingin mengetahui dan mencari arti hidup yang
sebenarnya bagi dia dan ingin lebih mendalaminya.
Pada tahun 1635, saat berumur 35 tahun, Pierre mendaftarkan diri masuk
biara. Ia masuk Biara Karmel di Goa, India. Pada suatu ketika Pemerintah
Portugal meminta Pierre yang sudah masuk biara untuk menjadi penunjuk
jalan ke Sumatra. Pembesar Karmel pada saat itu setuju dan sekaligus
mentahbiskan Pierre menjadi imam. Di biara karmel ini Pierre yang sudah
berubah nama menjadi Dionysius a Nativitate bertemu Bruder Redemptus a
Cruce, yang adalah bekas tentara Portugis.
Nama Redemptus sebelum masuk di Ordo Karmel adalah Thomas Rodguez da
Cunha. Redemptus mempunyai tujuan yang sama dengan Dionysius, yaitu
ingin hidup lebih dekat dengan Tuhan. Di dalam biara, pekerjaan
Redemptus sangat sederhana, ia harus menjaga pintu biara. Sebagai
penjaga pintu Bruder Redemptus adalah seorang biarawan yang bertugas
menerima tamu dan selain itu ia juga bekerja sebagai pengajar untuk
anak-anak yang tinggal di sekitar biara. Karena begitu besar cintanya
kepada Yesus Kristus, Redemptus seringkali tanpa diminta melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat diluar tugasnya sendiri. Oleh karena itu
atasannya kerap melarangnya bekerja di luar batas.
Keutamaan dan Teladan Hidup Beato Dionysius & Beato Redemptus
Ketika Dionysius dan Redemptus yang sudah menjadi frater di Biara Karmel
di Goa, India, Raja Goa meminta kepada Kepala Biara untuk menugaskan
Dionysius pergi ke Aceh, Indonesia. Saat itu abad ke-17, dan hubungan
Kerajaan Goa dengan Kerajaan Aceh sedang tidak baik, sehingga Raja Goa
berinisiatif untuk menjalin persahabatan dengan Raja Aceh. Oleh karena
Pater Dionysius adalah seorang yang ahli dalam bidang kelautan dan
bidang bahasa maka raja meminta Dionysius untuk membantu kerajaan
sebagai salah satu tim inti Kerajaan Goa untuk pergi ke Kerajaan
Samudera Pasai di Aceh.
Dionysius dan Redemptus adalah pribadi-pribadi yang rendah hati
Sejak menginjak remaja sebagai seorang pelaut yang ulung, Dionysius
sudah mewarisi kehidupan keagamaan ayahnya. Dionysius muda sudah
mempunyai pribadi yang mengesankan. Ia mempunyai kerendahan hati,
kekuatan iman, kemurnian, dan kesediaan untuk berkorban. Demikian juga
dengan Redemptus yang selalu dengan rendah hati dan taat menjalankan
tugas-tugasnya yang sederhana. Walaupun demikian keduanya menjalankan
tugas-tugas yang diembannya dengan penuh syukur. Dionysius tidak malu
untuk membersihkan galangan kapal walau nakhoda kapal adalah ayahnya dan
demikian juga dengan Redemptus yang menjadi penjaga pintu Biara Karmel.
Bagi mereka pekerjaan sekecil apa pun kalau ditujukan untuk
kemulian-Nya maka itu akan sangat berarti bagi mereka.
Dionysius dan Redemptus adalah pribadi-pribadi yang berani dan hidup berlandaskan Iman Kristiani
Ketika sudah menjadi biarawan, Dionysius masih beberapa kali
menyumbangkan keahliannya untuk Pemerintah Portugal. Biasanya Dionysius
membantu di kapal dengan kemahirannya yaitu dengan menggambar peta atau
sebagai penunjuk jalan, bahkan kadang-kadang Dionysius mengangkat
senjata untuk melawan Kongsi Dagang Belanda di Goa, dan salah satu
pertempuran yang pernah dia alami terjadi pada tahun 1636. Dionysius
bertemu dengan Redemptus di suatu biara di Goa dan keduanya mempunyai
cita-cita yang sama yakni berdua ingin mencari kehidupan yang lebih
dekat dengan Tuhan Allah.
Dionysius dan Redemptus sering berpuasa dan mati raga demi meneguhkan
niat mereka sebagai tentara Kristus. Pada saat Pater Dionysius ditunjuk
menjadi juru bahasa dan pandu laut bagi utusan Kerajaan Goa ke Aceh –
Kerajaan Samudra Pasai – maka mengetahui adanya peluang untuk mewartakan
karya keselamatan, Bruder Redemptus mengajukan diri untuk menjadi
asisten bagi Pater Dionysius. Bagi keduanya pergi diutus ke berbagai
tempat untuk mewartakan karya keselamatan sudah tidak menjadi masalah
untuk mereka. Pater Dionysius dan Bruder Redemptus sudah tidak lagi
memikirkan di mana dan kapan, serta bahaya besar yang akan mereka
hadapi. Mereka telah meneladani perbuatan Tuhan Yesus yang tersurat
dalam Injil Lukas 9: 58, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai
sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan
kepala-Nya.” Begitu besar keyakinan dan kepercayaan mereka kepada Yesus
Kristus karena bagi mereka berdua Yesus Kristus adalah terang dunia.
Seperti ditulis dalam Injil Yohanes 5:12b, “Akulah terang dunia;
barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan
melainkan ia akan mempunyai terang hidup.”
Redemptus yang telah mengajukan diri sebagai asisten bagi Dionysius
akhirnya disetujui oleh atasannya yang berada di Biara Karmel, di Goa
untuk mendampingi Dionysius pergi ke Aceh. Selain mengadakan dan memulai
kunjungan persahabatan bagi Kerajaan Goa, salah satu alasan Redemptus
pergi ke Aceh adalah bahwa “dia ingin menjadi seorang martir”. Begitu
mulia dan beraninya hati Redemptus di dalam menjalankan misinya. Dia
tahu bahwa Tuhan akan bersertanya sampai hayat di kandung badan. Selama
perjalanan menuju ke Aceh, pihak Belanda yang telah mulai menjajah
Indonesia mengadakan pendekatan kepada Sultan Iskandar Thani dan
mengatakan bahwa utusan Kerajaan Goa dan utusan Portugis yang terdiri
dari 2 orang biarawan dan 60 orang misi “perdamaian” tersebut datang ke
Aceh hendak meng-katolik-kan Kerjaan Samudera Pasai. Hasutan pihak
Belanda ini berhasil. Oleh karenanya setelah mereka tiba di Aceh, Pater
Dionysius, Bruder Redemptus, dan 60 orang utusan Kerajaan Goa ditangkap
dan dimasukkan ke dalam penjara.
Selama sebulan di penjara, Dionysius, Redemptus, dan 60 orang anggota
utusan perdamaian dari Kerajaan Goa disiksa. Mereka disiksa agar mau
mengingkari iman mereka, iman kepada Yesus Kristus atau iman Katolik.
Perjuangan mereka di penjara begitu berat karena siksaan-siksaan yang
mereka alami, sampai akhirnya ada beberapa dari anggota utusan yang
murtad dan beralih dari agama yang mereka imani, namun yang tetap teguh
tetap mengalami siksaan. Mengapa mereka begitu kuat menahan siksaan di
penjara? Tidak lain dan tidak bukan karena peneguhan dan pengaruh yang
kuat yang diberikan oleh 2 orang rahib dari Biara Karmel ini. Selama di
penjara para tawanan ini terus berdoa kepada Tuhan Allah supaya mereka
lebih dikuatkan dan tidak beralih dari keyakinan yang mereka imani dan
menjadi pengkhianat bagi Kristus.
Setelah satu bulan lamanya akhirnya Sultan Iskandar Thani memberi
maklumat hukuman untuk menghukum mati seluruh utusan yang tidak mau
pindah dari pengikut Kristus ini. Menurut Dionysius yang ahli bahasa
ketika menterjemahkan isi maklumat tersebut kepada para temannya bahwa
mereka akan dihukum mati bukan karena berkebangsaan Portugis tetapi
karena mereka menganut agama Katolik – pengikut Kristus. Hukuman mati
yang akan dilaksanakan adalah membawa seluruh tawanan ke pesisir pantai
dan memanah mereka. Sebelum acara hukuman dilaksanakan, Dionysius
bersama seluruh tawanan melakukan doa bersama dan mereka memohon kepada
Kristus Yesus untuk memaafkan dosa-dosa mereka. Sebagai absolusi
terakhir, Dionysius mengeluarkan sebuah salib, dan memberkati
teman-temannya satu persatu seraya memberikan semangat kepada mereka
untuk tidak mundur karena Kristus Yesus akan memberikan kehidupan kekal
kepada mereka dan mereka tidak akan mati dengan sia-sia karena bersedia
mengorbankan nyawa mereka untuk Kristus Yesus yang mereka imani.
Akhirnya mereka satu persatu mati ditembus oleh anak panah, termasuk
juga Redemptus, dan selama proses hukuman mereka terus mengucapkan nama
Yesus. Tuhan memang menjanjikan kehidupan yang lebih hakiki bagi,
seperti tertulis di dalam Mazmur 31: 6-9: “Ke dalam tangan-Mulah
kuserahkan nyawaku; Engkau membebaskan aku, ya Tuhan, Allah yang setia.
Engkau benci kepada orang-orang yang memuja berhala yang sia-sia, tetapi
aku percaya kepada Tuhan. Aku akan bersorak-sorak dan bersukacita
karena kasih setia-Mu, sebab Engkau telah menilik sengsaraku, telah
memperhatikan kesesakan jiwaku, dan tidak menyerahkan aku ke tangan
musuh, tetapi menegakkan kakiku di tempat yang lapang.”
Proses hukuman anak panah belum selesai, namun Pater Dionysius belum
mati juga, bahkan dia masih dapat memberikan khotbah tentang Kristus
Yesus di depan para pengawal kerajaan dan penduduk yang melihat proses
hukuman ini. Karena Pater Dionysius tak henti-hentinya berkhotbah maka
penduduk makin membencinya, segera pengawal tidak hanya menancapkan
tombak dan menghunus pedang untuk membunuh Pater Dionysius, namun
seperti ada mujizat karena ada tenaga yang menahan para pengawal
sehingga mereka tidak dapat menyentuh Pater Dionysius. Beberapa pengawal
akhirnya pergi ke kerajaan untuk memberitahu kepada Raja Iskandar Thani
perihal masalah Pater Dionysius dan juga memohon tambahan bantuan.
Pater Dionysius mengetahui bahwa Tuhan Yesus Kristus turut campur tangan
dalam proses kematiannya, maka dia memohon kepada-Nya untuk dapat mati
sebagai martir. Doanya dikabulkan oleh Tuhan, seorang algojo pertama
kali memukul kepala Pater Dionysius, kemudian sebuah pedang menebas
kepala dan tubuh Pater Dionysius. Seorang martir dari Biara Karmel telah
mati dengan tidak sia-sia untuk Kekasih-Nya. “Berharga di mata Tuhan
kematian semua orang yang dikasihi-Nya. Ya Tuhan, aku hamba-Mu! Aku
hamba-Mu, anak dari hamba-Mu perempuan! Engkau telah membuka
ikatan-ikatanku!” (Mazmur 116: 16) Seluruh mayat para martir termasuk
Pater Dionysius dan Bruder Redemptus kemudian dibuang ke laut namun
mayat Pater Dionysius setelah dibuang ke laut kembali lagi ke tempat dia
dibunuh pertama kali. Mayatnya kemudian dibuang tidak hanya ke laut
tetapi juga ke hutan dan tetap saja mayatnya kembali lagi ke tempat dia
terakhir menjadi martir. Tuhan Yesus Kristus Maha Besar karena mayat
Pater Dionysius juga tidak membusuk bahkan setelah tujuh bulan. Akhirnya
mayatnya dimakamkan di Pulau Dien yaitu pulau pembuangan para tawanan
sebelum kemudian diangkat kembali dan untuk terakhir kalinya dimakamkan
di Goa, India.
Berdasarkan pada pengalaman iman yang kita dapat dari Pater Dionysius
dan Bruder Redemptus, maka kita dapat melihat bahwa mereka berdua
mengandalkan pada kekuatan Yesus Kristus, kekuatan yang meneguhkan
mereka berdua untuk mengatasi tidak hanya pada masalah horizontal, yaitu
bagaimana mereka menghadapi hubungan mereka dengan pribadi-pribadi
tetapi juga pada masalah vertikal, yaitu bagaimana mereka berdua
mengabdi dan meyakini iman Kristiani mereka. Tidak perlu disangkal lagi
bahwa Pater Dionysius dan Bruder Redemptus mempunyai karunia-karunia
yang membantu mereka dalam mengatasi masalah berkehidupan dan segala hal
yang berhubungan dengan kebajikan yang diekspresikan dari kepribadian
mereka yang matang, rendah hati, berani membela kebenaran, mau
mengampuni, dan besar hati. Renungan singkat dari Santa Theresia dari
Kanak-kanak Yesus mengenai kematian dapat menjadi suatu persembahan yang
membuat kemartiran bagi setiap pengikut Kristus Yesus adalah suatu
usaha dan pengorbanan yang tidak akan pernah sia-sia: “Dalam hatiku ada
ketenangan seperti danau yang teduh atau udara yang cerah; aku tidak
mengeluh mengenai kehidupan di dunia ini; hatiku mendambakan air
kehidupan kekal. Sebentar lagi maka jiwaku akan meninggalkan bumi, akan
berakhirlah masa pembuangannya, akan selesailah perjuangannya. Aku naik
ke surga, sampai di tanah air, mendapatkan palma kemenangan! Sebentar
lagi aku akan memasuki kediaman para terpilih, aku akan memandang
keindahan yang tak pernah ditatap mata manusia, aku akan mendengar lagu
selaras yang tak pernah didengar telinga, aku akan merasakan kegembiraan
yang tak pernah timbul dalam hati . . . Inilah aku tiba di saat ini.
Aku sekuntum bunga yang dipetik Juru Taman sesuka hatiNya. Kita semua
adalah bunga yang ditanam di dunia ini dan dipetik Allah pada waktunya:
ada yang sedikit lebih dahulu, ada yang kemudian. Suatu hari kita akan
bertemu di Firdaus dan merasakan kebahagiaan sejati.” >
Tidak ada komentar:
Posting Komentar