Pernah dalam suatu
masa yang lama saya mengabaikan perasaan. Saat tujuan hidup rasanya
jelas, yaitu prestasi dan target untuk dicapai, hidup terasa lebih
mudah. Saya tidak pernah dan tidak merasa perlu untuk berpikir tentang
apa yang saya rasakan (dan apa yang orang lain rasakan) karena lebih
mudah untuk fokus dan berorientasi pada tujuan. Apalagi jika tujuannya
juga tidak berhubungan dengan orang lain.
Pernah dengar tentang locus of control atau LOC? Locus of control
adalah sikap seseorang dalam mengartikan sebab dari suatu peristiwa.
Seseorang dengan Internal LoC adalah mereka yang merasa bertanggung
jawab atas kejadian-kejadian tertentu. Hasil adalah dampak langsung dari
tindakannya. Sedangkan, orang dengan External LoC adalah mereka yang
sering menyalahkan (atau bersyukur) atas keberuntungan, petaka, nasib,
keadaan dirinya, atau kekuatan-kekuatan lain di luar kekuasaannya.
Dulu
saya bangga dengan sikap yang sangat internal LoC. Saya percaya bahwa
segala penghalang akan dapat teratasi dengan sikap positif, ulet dan
tidak mudah putus asa. Saya bahkan penganut impossible is nothing, semua
bakal tercapai asal saya berusaha lebih pandai, lebih kuat, dan lebih
‘usaha’. Dan saat itu tampaknya semua tujuan akan tercapai karena diri
saya sendiri. Saat itu saya lupa dengan kuasa Allah.. bahwa sesungguhnya
Allah yang mengijinkan segala sesuatu yang terjadi. Saya lupa bahwa
tujuan saya tercapai sungguh karena kemurahan-Nya. Dan saya lupa untuk
berpikir sejenak tentang perasaan saya sendiri, atau apakah tujuan saya
adalah tujuan yang benar?
Menjadi Frater merubah banyak hal. Ribuan hal yang tadinyakurang Penting untuk saya menjadi sangat penting, bahkan hal-hal yang dulunya saya abaikan ternyata bergerak menjadi
bagian yang sangat penting.. seperti soal perasaan.
Saya
terkaget-kaget, bingung dan gamang. Perasaan adalah sesuatu yang jarang
sekali saya pikirkan (dan rasakan). Terbiasa berpikir dengan
menggunakan logika, saya tidak ahli menggunakan rasa. Sebagai mahasiswa
teknik dan engineer, saya terbiasa berpikir secara sistematis, mencari
solusi yang paling efisien, dan fokus pada tujuan. Saya lupa mengasah
otak kanan saya.
Pertama
kali saya sadar akan tidak pekanya diri adalah saat seorang sahabat
menangis di depan saya. Emosi, adalah suatu hal yang saya hindari.
Karena saya tidak tahu bagaimana menghadapinya. Selama ini saya nyaman
dengan teman-teman yang juga sangat logis, dan tidak ahli menghadapi
kompleksnya perasaan. Waktu itu saya merasa ada yang salah dengan tidak
ketidaknyamanan saat mencoba berempati, saat rasa canggung mendominasi
dan saya tidak tahu apa yang harus lakukan untuk menghibur sahabat yang
sedih.
Setelah
anak saya makin besar saya makin bingung. Teori-teori telah saya
jalankan, banyak buku yang telah saya baca, tapi tetap saya merasa ada
yang kurang… menjadi ibu adalah hal yang menakjubkan, karena sungguh
banyak muatan emosi yang terlibat.
Ternyata
saya memang harus belajar tentang perasaan. Saya belajar, bahwa manusia
bukanlah robot yang eksak, yang akan mengeluarkan output tertentu
sesuai input yang diberikan, seperti yang saya pelajari tentang
rangkaian listrik saat kuliah. Manusia, apalagi anak-anak, manusia kecil
yang fitrah, titipan Allah, bukanlah sesuatu yang bisa saya baca dengan
tepat. Masalah rumah sehari-hari sering kali tidak memerlukan solusi
yang efisien, melainkan kesabaran dan hati seluas samudra. Saya belajar,
untuk memahami ketidaksempurnaan, kehebohan rumah dan meledaknya emosi
anak-anak sebagai bagian dari dinamika seorang ibu, dan saya harus
belajar menerima bahwa saya ibu yang tidak sempurna.
Saya
harus belajar dari awal untuk menggunakan perasaan. Bukan hal yang
mudah, karena logika seringkali mendominasi pikiran, perbuatan dan
perkataan saya. Apakah perasaan saya sudah tumpul? Apakah empati saya
sudah sangat berkurang, setelah selama ini tergerus oleh segala tujuan
yang sebenarnya kurang penting? Apakah selama ini saya mengabaikan
perasaan banyak orang di sekeliling saya? Saya tidak tahu..
Saya
ingin belajar, bagaimana cara menajamkan hati, meluaskan kesabaran,
memperdalam empati, dan menguatkan diri saya. Saya ingin belajar untuk
menyeimbangkan logika dan perasaan, menelusuri relung-relung dalam hati
saya dan menemukan binar-binar rasa yang mungkin pernah ada. Saya ingin
belajar, membaca dan mempelajari perasaan orang lain, merespon dan
bertindak dengan dituntun ilmu yang santun, dan meluaskan frekuensi rasa
diri..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar